SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Setiap penulis fiksi punya cara dan jalannya sendiri dalam melalui proses kreatif, hingga mencapai titik dengan predikat sebagai cerpenis, novelis atau penyair.

Ada yang memang dari kecil sudah suka dengan sastra karena pengaruh lingkungan atau keluarganya. Ada juga baru masuk ke "rimba" dunia sastra itu saat sudah dewasa.

Panji Sukma Brojoningrat, salah satu penulis cerpen dan novel yang baru menggeluti menulis fiksi setelah dewasa. Saat menjadi pembicara pada kegiatan "Ngaji Sastra" yang dihelat Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, mahasiswa program doktoral ilmu budaya di Universitas Sebelas Maret Solo ini bercerita baru menekuni menulis pada 2018 dan tergolong langsung produktif.

Semula, lelaki berkaca mata ini menyukai dunia musik dan eksis di genre musik underground. Ia awalnya mengaku tidak betah kalau berlama-lama di depan laptop atau komputer. Bahkan, cenderung tersiksa, termasuk ketika dulu harus menyelesaikan skripsinya.

Keadaan selalu bergerak, demikian juga dengan pikiran dan hati seseorang. Demikian pula dengan Panji. Suatu ketika ia ingin sekali belajar menulis cerita fiksi.

Pelan-pelan ia mulai tidak bermusuhan dengan laptop, malah bersahabat. Mulanya ia belajar menulis secara mengalir alias tidak terikat oleh kaidah-kaidah menulis, apalagi dengan teori.

Awalnya menulis itu bagi Panji terasa berat dan menyiksa, lama-lama menjadi mengasyikkan dan menagihkan. Karya-karya cerpennya memang tidak diorientasikan untuk dimuat di media, cetak maupun daring. Ia memilih mengirimkan karyanya ke lomba-lomba dan kemudian menang.

Dari cerpen, Panji beralih ke belajar menulis novel. Novelnya berjudul "Sang Keris" dinobatkan sebagai juara dua di Dewan Kesenian Jakarta pada 2019.

Ia kini ketagihan dengan dunia menulis. Kalau sebelumnya tidak pernah berpikir untuk adu kualitas di media, ia kini berniat untuk mengirim cerpen-cerpennya ke koran atau media daring.

Ia bersaksi bahwa menulis itu banyak manfaatnya termasuk untuk eksistensi diri. Kini ia tidak lagi membuang-buang waktu dalam hidupnya. Kemana-mana ia selalu membawa laptop dan langsung menuangkan tulisan di komputer jinjing itu kalau tiba-tiba muncul ide. Bahkan, ketika periksa ke dokter pun ia tak lupa membawa laptop.

Termasuk ketika ia mengendarai motor, kemudian di tengah jalan muncul ide, Panji akan berhenti untuk ngetik di telepon selulernya agar ide itu tidak melayang. Baginya, ide itu seperti burung yang bisa terbang kemana saja. Kalau kita mendapat ide, kemudian tidak segera ditulis, maka bisa jadi ide itu hinggap di pikiran orang lain dan kita tertinggal.

Halaman :
Tags
SHARE