Titi mengungkapkan, dampak kemiskinan tak hanya banyak dirasakan oleh kelompok perempuan semata, kemiskinan perempuan juga bersifat lintas generasi dan memiliki efek domino. Faktor penyebab kemiskinan juga begitu kompleks, ada yang bersifat individu, keadaan masyarakat dan lingkungan, serta kondisi dan kebijakan negara. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, tercatat sebanyak 9,68% dari perempuan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan persentase laki-laki yang ada pada angka 9,40%.
Melihat kemiskinan bukan hanya dari faktor ekonomi namun juga dari faktor lain yaitu pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, namun ekonomi sebagai pintu masuk untuk keluar dari belenggu kemiksinan. “Pada Agustus 2022, BPS mencatat persentase TPAK perempuan berada di 53,41%, dimana laki-laki mencapai 83,87%. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan belum sepenuhnya memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja dikarenakan adanya kombinasi dan interaksi dari berbagai faktor seperti adat istiadat atau budaya, agama, pendidikan, status perkawinan, kondisi kesejahteraan rumah tangga, dan pembangunan ekonomi. Perempuan pun lebih banyak yang bekerja di sektor informal dibandingkan sektor formal, dan perempuan juga mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki,” ungkap Titi.