CARAPANDANG - Upaya pemerintah melakukan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah diperkirakan akan menghadapi tantangan besar, terutama dari para penimbun uang tunai hasil kegiatan ilegal. Pernyataan ini disampaikan oleh ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, dalam wawancara dengan Bisnis, Minggu (9/11/2025).
Menurut Wijayanto, tantangan terbesar kebijakan ini adalah potensi penolakan dari pemilik "old money" ilegal yang menyimpan kekayaannya dalam bentuk rupiah tunai.
"Tiba-tiba uang mereka menjadi tidak bernilai, sementara uang masuk ke sistem tidak mudah. Makanya banyak yang mendorong ide tax amnesty jilid 3, atau pembentukan family office," ujarnya seperti dikuti Bisnis.com.
Di sisi lain, Wijayanto memproyeksikan bahwa meski secara teori redenominasi tidak berdampak pada inflasi, daya beli, atau nilai tukar, dalam praktiknya dapat memicu kenaikan harga akibat faktor pembulatan dan psikologis masyarakat. Studi behavioral economics menunjukkan bahwa setelah redenominasi, masyarakat cenderung lebih banyak berbelanja karena persepsi harga yang lebih murah.
Dari sisi biaya, pemerintah diperkirakan perlu mengeluarkan dana sekitar Rp4-5 triliun untuk pencetakan uang baru dan program literasi publik.