Selama beberapa dekade, para politisi sayap kanan Jepang tetap terjebak dalam pandangan dunia yang berusia satu abad dan sudah usang, tidak mampu -- atau enggan -- meninggalkan pola pikir yang pernah mendorong agresi Jepang. Persepsi mereka terhadap China tidak didasarkan pada fakta atau perkembangan kontemporer, melainkan oleh nostalgia akan ambisi imperialis, penolakan terhadap kejahatan perang, dan pengabaian terhadap komitmen serius yang dibuat Jepang saat menormalisasi hubungan dengan China.
Mereka menjadi buta terhadap berbagai peluang yang dibawa oleh perkembangan damai China dan malah terpaku pada fantasi berbahaya untuk mengekang perkembangan China.
Dalam perhitungan politik mereka, menciptakan "ancaman China" adalah taktik yang sudah teruji dan terbukti efektif, yaitu alat untuk memicu ketakutan domestik, membenarkan pelanggaran terhadap batasan pertahanan, serta menghidupkan kembali dorongan militeristik yang dulu menimbulkan penderitaan tak terukur bagi China dan negara-negara Asia lainnya. Penyebutan "situasi yang mengancam kelangsungan hidup" secara gegabah oleh Takaichi sejalan dengan pola permainan ini.
Isu Taiwan merupakan garis merah yang tidak boleh dilanggar sekaligus menjadi landasan politik bagi hubungan China-Jepang. Sebagai pemimpin Jepang, Takaichi sudah gagal mengemban tanggung jawab dalam mempertahankan komitmen yang dibuat oleh pendahulunya serta berusaha untuk menghancurkannya demi keuntungan politik pribadi.