“Pertama adalah konvergensi antara kelompok tradisional dan kelompok modernis. Tidak ada lagi perbedaan yang sangat tajam antara NU dan Muhammadiyah.”
Konvergensi kedua adalah antara kelompok santri dan abangan, yang kini hampir tidak ada lagi. “Sedangkan yang ketiga adalah konvergensi politik antara partai Islam dan non-Islam," ujar Mendikdasmen ini.
Abdul Mu’ti memberikan contoh PDI Perjuangan yang kini banyak diisi santri. Begitu juga dengan Golkar yang dahulu identik dengan abangan, kini juga banyak santri.
Menurut Abdul Mu’ti, konvergensi juga terjadi sejak Presiden Suharto mewajibkan pendidikan agama di semua jenjang. “Sehingga di situ anak-anak dari keluarga abangan, keluarga santri, keluarga priyayi belajar agama dari guru yang sama dan juga dari buku pelajaran agama yang sama," katanya.
Konvergensi kedua terjadi melalui peran IAIN, yang kini menjadi UIN. Banyak mahasiswa NU yang belajar di kampus Muhammadiyah, memperkecil perbedaan antara kedua organisasi ini.
Abdul Mu’ti juga menyebutkan bahwa di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 70 persen mahasiswanya berasal dari NU. Hal serupa juga terjadi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Menutup tausyiyahnya, Abdul Mu’ti mengungkapkan rasa iri kepada Kiai Cholil. Ia terinspirasi setelah melihat program 'Sang Kiai Gus Cholil' di YouTube, “Saya iri karena beliau memiliki dua-duanya.”