Mu’ti menambahkan bahwa jika umat Islam seperti Kiai Cholil dan dirinya, Indonesia akan bebas dari masalah khilafiyah dan furukiyah. “Ini karena kami sudah memiliki chemistry yang sama,” katanya.
Melihat kenyataan saat ini, Mu’ti menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) kini lebih mengarah pada kebangkitan intelektual. Banyak yang menguasai kitab putih selain kitab kuning.
“Alhamdulillah NU yang menguasai kitab putih banyak. Muhammadiyah yang menguasai kitab kuning juga banyak,” ucapnya.
Dahulu, orang menyebut Muhammadiyah sebagai modernis dan NU sebagai tradisionalis. Namun, kesenjangan itu hampir tidak ada lagi, seperti yang dijelaskan dalam buku Fazrul Rachman berjudul 'Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Traditions'.
Mu’ti mengungkapkan bahwa pertemuan antar tokoh dari berbagai ormas di Indonesia sangat cair. “Pertemuan tokoh dari berbagai ormas seperti ini sangat cair, dan kalau di negara muslim lain sulit ditemui,” ia menuturkan.
Mendikdasmen Abdul Mu'ti (keempat dari kiri) menggunting pita bersama-sama dalam sebuah acara di Pesantren Cendekia Amanah, Kalimulya, Depok, Sabtu (8/3/2025) (Foto: Dokumentasi Narasumber)
Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa meski generasi muslim memiliki latar belakang berbeda, mereka memiliki keislaman yang hampir sama. Menurut Prof. Kuntowijoyo, ada tiga konvergensi yang terjadi dalam masyarakat.