Dalam kajian budayawan dari Universitas Udayana, Ida Bagus Gede Agastia terhadap naskah lontar Bali Dwijendra Tattwa diketahui bahwa Danghyang Nirartha adalah ahli agama dari Kerajaan Majapahit. Setelah keruntuhan Majapahit, Nirartha pergi ke Pasuruhan, Blambangan, dan Bali. Di Bali, dia diangkat sebagai padiksyan (pendeta kerajaan) Gelgel yang diperintah Raja Baturenggong. Dia kerap mengadakan perjalanan spiritual keliling Bali, Nusa Penida, dan Lombok.
“Perjalanan mengelilingi Bali yang dilakukan Danghyang Nirartha adalah salah satu wujud dari usaha penataan kehidupan keagamaan di pulau ini,” jelas Agastia.
Di beberapa tempat yang disinggahi Nirartha dibangunlah beberapa pura, termasuk Tanah Lot, Pura Uluwatu, dan Pura Rambut Siwi.
Pendirian pura di Tabanan diuraikan dalam Dwijendra Tatwa. Dikisahkan, ketika berada di tepi pantai, Nirartha melihat pulau kecil yang tampaknya sangat suci di tengah samudra. Muncul keinginannya untuk membuat tempat suci di sana. Kepada nelayan yang sedang mencari ikan, dia memberitahu agar masyarakat desa mendirikan tempat suci yang kemudian disebut Pura Pakendungan. Agastia menyebut Pura Pakendungan sekarang lebih dikenal dengan nama Pura Tanah Lot.