SHARE

Ilustrasi | Istimewa

CARAPANDANG - Dilansir CNBC. Selama ini, mata uang paling kuat adalah dolar Amerika Serikat (AS). Keperkasaan Keperkasaan dolar AS sudah berlangsung sejak 1920an. Namun sayangnya, kekuatan yang lebih dari 100 tahun mulai terancam.

Pasalnya, banyak negara kini yang ingin terlepas dari "penjajahan" greenback. Ketergantungan akan dolar dalam perdagangan hingga investasi membuat dolar semakin menguat, sementara mata uang lokal harus terpuruk.

Negara-negara seperti China dan Brasil pun perlahan tapi pasti memilih menggunakan mata uang lokalnya. Fenomena dedolarisasi atau membuang dolar ini juga marak dilakukan oleh negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.

Indonesia saat ini telah memiliki perjanjian dalam lingkup local currency transaction (LCT). Skema ini telah berjalan dengan beberapa negara di ASEAN hingga Korea Selatan dan China. Tidak hanya perdagangan, sistem pembayaran hingga investasi dengan negara-negara yang terikat perjanjian dengan RI ini bisa mengandalkan rupiah dan mata uang lokal negara yang bersangkutan.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan fakta fenomena 'buang dolar' alias dedolarisasi di kancah global yang semakin kencang.

Mengutip data Dana Moneter Internasional (IMF), Perry mengatakan penggunaan dolar di dunia telah berkurang dari 70% menjadi 50% saat ini.

"Ini adalah diversifikasi currency yang mendukung mata uang lokal," papar Perry, Senin (8/5/2023).

Untuk lebih jelasnya, dolar AS tetap dominan dalam cadangan devisa global meskipun bagiannya dalam cadangan devisa bank sentral telah turun dari lebih dari 70% pada tahun 1999 ke kisaran 50%, menurut data IMF.

Dikutip dari CNBC Internasional, data Komposisi Mata Uang Cadangan Devisa (COFER) IMF menunjukkan dolar AS menyumbang 58,36% dari cadangan devisa global pada kuartal keempat tahun lalu.

Fenomena dedolarisasi ini didorong oleh perubahan dinamika ekonomi global, termasuk sanksi AS untuk Rusia. Tren dedolarisasi diyakini dapat menguntungkan ekonomi lokal dalam beberapa cara.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgievas mengungkapkan bahwa dolar AS secara bertahap telah kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan utama dunia.

"Dalam sebuah konferensi di AS, Senin waktu setempat, ia berujar perubahan telah terjadi. "Ada pergeseran bertahap dari dolar, dulunya 70% dari cadangan, sekarang sedikit di bawah 60%," tegasnya di acara Global Milken Institute 2023 dikutip Senin (8/5/2023).

Meski belum bisa tergantikan dalam waktu dekat, tambahnya, pesaing AS terbesar sudah bermunculan. Ini antara euro, dengan potensi paling massif.

Ada pula pound Inggris, yen Jepang dan yuan China. "Mereka memainkan peran yang sangat sederhana," katanya.

Momentum Tepat

Ekonom Senior, Bambang Brodjonegoro memandang saat ini adalah waktu yang tepat untuk bisa mengurangi ketergantungan dolar. Karena saat ini nilai kurs dolar sedang tinggi alias mahal.

Menteri Keuangan RI (periode 2014-206) ini menjelaskan, nilai kurs dolar sedang mahal, akibat tingkat bunga yang relatif tinggi dan konsekuensi Amerika Serikat (AS) untuk menahan inflasi.

Sehingga banyak negara yang kemungkinan khawatir kalau ketergantungan terhadap dolar AS, tidak hanya akan menghambat perdagangan, tapi bisa menciptakan ekonomi biaya tinggi.

"Dengan mahalnya dolar, dolar jadi lebih langka dan harga yang relatif tinggi," ujar Bambang kepada CNBC Indonesia dalam program Closing Bell, dikutip Selasa (9/5/2023).

Oleh karena itu, dia melihat saat ini sebenarnya waktu yang tepat untuk suatu negara bisa mengurangi ketergantungan dolar, bisa melalui sistem kerjasama, atau lewat penyatuan mata uang bersama.

Tak heran jika negara aliansi BRICS yakni Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan untuk berencana membentuk sistem pembayaran baru, alias tidak lagi menggunakan dolar AS sebagai mata uang mereka untuk melakukan transaksi.

"Yang disampaikan atau ide dari BRICS bukan ide baru, karena euro muncul dari kesepakatan negara-negara anggota uni eropa untuk bisa mempunyai satu mata uang yang diharapkan bisa jadi pesaing dolar AS," kata Bambang.

Menurutnya, ide BRICS untuk meninggalkan dolar AS, adalah langkah yang tepat karena saat ini nilai kurs dolar AS sedang mahal.



Tags
SHARE