SHARE

istimewa

CARAPANDANG.COM - Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib menegaskan isu politik identitas sudah tidak relevan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024, karena literasi masyarakat tentang berita bohong atau hoaks sudah membaik.

“Sudah tidak relevan (politik identitas) untuk Pilpres 2024 nanti. Kenapa? Karena masyarakat sudah makin cerdas. Literasi masyarakat tentang hoaks, berita palsu, berita bohong itu sudah makin baik. Mungkin di 2014, 2019 berita hoaks masih bisa dan banyak beredar di WA grup, tapi di 2024 saya tidak yakin,” ujar Ridlwan dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan hal ini juga terkait faktor banyaknya generasi Z atau milenial yang saat ini sudah "melek" digital dan unggul dalam literasi, sehingga generasi ini sudah memahami mana berita palsu, hoaks dan bohong.

Dengan demikian, menurutnya, maka narasi politik identitas yang negatif sudah harus ditinggalkan.

“Sebenarnya berpolitik identitas itu boleh boleh saja, misalnya kampanye dengan menggunakan jargon agama itu sah-sah saja. Yang tidak boleh adalah jika menggunakan politik identitas untuk menyalahkan pihak lain di luar kelompoknya, bahkan mengampanyekan khilafah,” ujar Ridlwan.

Dia menekankan mengampanyekan atau mempromosikan Indonesia harus menganut hukum agama tertentu, artinya sudah menyalahi serta melanggar konsensus nasional yang telah disepakati para pendiri bangsa.

“Jadi, politik identitas itu boleh saja asal yang positif, yang tidak bertentangan dengan agama, yang bertujuan memajukan bangsa dan tidak mengganggu orang lain, itu positif. Jadi politik identitas jangan selalu dipahami negatif,” kata pria yang meraih gelar magister pada Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia ini.

Dirinya juga menyebut dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, seringkali ditemui oknum berkepentingan, yang memanfaatkan isu sentimen agama yang justru menimbulkan reaksi balik dari kelompok masyarakat yang merasa terganggu dengan isu tersebut.

Hal ini, menurutnya, mengakibatkan kerukunan, persatuan, kemajemukan, tenggang rasa bangsa tercederai oleh narasi keagamaan yang dipaksakan dalam politik.

“Indonesia menganut kebebasan demokrasi, tiap orang boleh berekspresi, itu wajib dijaga, akan tetapi kebebasan berekspresi itu tidak boleh melanggar kebebasan orang lain, nah termasuk dalam hal berpolitik itu tadi,” tutur Ridlwan.

Tidak hanya itu, kata dia, kondisi iklim demokrasi yang dirusak dengan pertarungan sentimen agama justru akan semakin melanggengkan jalan bagi kelompok radikal guna mewujudkan visi-misinya guna mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi atau sistem yang mereka percaya.
 

Halaman :