SHARE

CARAPANDANG - Para pemimpin keuangan Asia pada Selasa akan mencari cara untuk memperketat perlindungan buat mengatasi kebutuhan pendanaan darurat selama pandemi dan bencana alam, ketika kekhawatiran resesi global dan pasar keuangan yang bergejolak mempersuram prospek ekonomi. Dampak kenaikan suku bunga AS terhadap arus modal kawasan juga dapat didiskusikan ketika para menteri keuangan dan kepala bank sentral ASEAN+3 - yang mengelompokkan 10 anggota Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Jepang, China dan Korea Selatan - bertemu pada Selasa.

Jepang, yang ikut memimpin pertemuan tahun ini dengan Indonesia, berharap untuk membahas penguatan jalur pertukaran mata uang, Menteri Keuangan Shunichi Suzuki mengatakan kepada wartawan pada Jumat (28/4/2023). Jepang tertarik untuk mengusulkan fasilitas yang meningkatkan penggunaan jalur pertukaran mata uang yang ada, dan memungkinkan anggota untuk memanfaatkan dana dalam keadaan darurat, kata tiga sumber yang mengetahui langsung masalah tersebut.

Kegagalan dua bank AS baru-baru ini membuat para pembuat kebijakan khawatir tentang kerentanan dalam sistem perbankan global dan kemungkinan gejolak pasar sebagai akibat dari kenaikan suku bunga AS yang agresif. Dalam pertemuan dengan mitranya dari China dan Jepang sebelum pertemuan ASEAN+3, Menteri Keuangan Korea Selatan Choo Kyung-ho mengatakan kerja sama menjadi lebih penting bagi Asia dan seluruh dunia karena ekonomi global berada di "titik perubahan".

"Meskipun hubungan ekonomi yang erat antara China, Jepang, dan Korea, kami telah mengamati perlambatan hubungan ekonomi baru-baru ini, khususnya dalam hal perdagangan barang dan jasa," kata ketiga menteri tersebut dalam sebuah pernyataan.

"Kami menyadari pentingnya memperkuat hubungan ekonomi dan perdagangan kami untuk mengamankan pertumbuhan pasca-pandemi, meminimalkan efek negatif yang bertahan lama, dan mempersiapkan guncangan di masa depan," kata mereka. Kelompok ASEAN+3 menciptakan jaringan jalur pertukaran mata uang yang disebut Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) pada tahun 2000, setelah krisis keuangan Asia pada akhir 1990-an, dan mengubahnya menjadi jaringan multilateral pada tahun 2010, untuk saling membantu mencegah atau memerangi arus keluar modal yang tajam.

Tetapi jalur pertukaran tidak pernah digunakan, bahkan selama pandemi COVID-19, yang menyebabkan seruan di dalam grup agar sistem lebih mudah diakses. Sementara pembuat para kebijakan Asia menekankan negara mereka memiliki cadangan devisa dan penyangga yang cukup untuk menangkis krisis lain, mereka mungkin melihat ruang untuk peningkatan pengaturan guna memerangi pergolakan pasar, kata para analis.

"Fakta bahwa CMIM tidak pernah digunakan sejak diciptakan menunjukkan bahwa negaranegara sulit menggunakannya," kata Toru Nishihama, kepala ekonom pasar berkembang di Dai-ichi Life Research Institute. Meskipun penting untuk membuat CMIM lebih fleksibel, negara-negara juga harus memastikan bahwa mereka memiliki pengawasan yang kuat untuk menghindari moral hazard, tambahnya.

Negara-negara berkembang Asia diperkirakan akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat sebesar 4,8 persen pada tahun 2023, lebih cepat dari pertumbuhan 4,2 persen pada tahun 2022 berkat kebangkitan China, menurut proyeksi Bank Pembangunan Asia (ADB). Para pemimpin keuangan ASEAN+3, termasuk Suzuki dan Gubernur Bank Sentral Jepang (BoJ) Kazuo Ueda, bertemu di sela-sela pertemuan tahunan ADB di Incheon di Korea Selatan minggu ini.


Tags
SHARE