Hetifah menekankan bahwa, jika status honorer akan dihapus, tidak boleh dimaknai sebagai penghapusan hak. Penghasilan layak, tunjangan tetap, jaminan sosial, serta perlindungan hukum harus menjadi klausul wajib dalam kebijakan baru. “Ini bukan bonus, ini hak dasar,” tuturnya.
Menurut Hetifah, perbedaan regulasi antara guru sekolah umum yang berada di bawah Kemendikbudristek, dan guru madrasah di bawah Kementerian Agama, menuntut perlunya koordinasi erat antara Kementerian Agama, Kementerian PANRB, Kemendikbudristek, pemerintah daerah, dan BKN, agar tidak ada guru yang terlantar.
“Jangan sampai reformasi kepegawaian justru menciptakan dua kecepatan: satu guru diuntungkan, yang lain tertinggal,” kata Hetifah.
Hetifah turut mengingatkan bahwa pemerintah melalui amanat UU ASN, aturan turunan, serta Surat Edaran KemenPAN-RB telah menetapkan bahwa hingga akhir 2025 nomenklatur guru honorer tidak akan ada lagi. Seluruh guru non-ASN yang memenuhi syarat akan diarahkan masuk dalam skema PPPK Paruh Waktu.
Namun hingga saat ini, proses penetapan dan pengangkatan PPPK Paruh Waktu masih menunggu terbitnya ketentuan teknis resmi dari Kementerian PANRB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
“Keterlambatan regulasi teknis ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi guru honorer di daerah,” jelasnya.