Barakuda juga menyoroti dugaan pelanggaran terkait Hak Guna Usaha (HGU) oleh empat perusahaan tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Perkebunan Pasal 16, setiap perusahaan wajib mengelola minimal 30 persen dari total luas HGU dalam waktu tiga tahun dan 100 persen dalam enam tahun.
Namun, menurut Barakuda, PT IGL dan PT BTL baru mengelola 1 persen dari total HGU mereka, sedangkan PT LIL dan PT STN baru mencapai 30 persen. Akibatnya, kata Sonni, hak plasma rakyat sebesar 20 persen dari luas HGU yang dikelola belum terealisasi.
“Kalau kemiskinan masif terjadi di Pohuwato, salah satu penyebabnya adalah perusahaan-perusahaan ini. Mereka datang bukan membawa kesejahteraan, tapi masalah,” tegas Sonni.
Barakuda juga mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap aturan HGU dapat berujung pada pengembalian lahan yang tidak diusahakan kepada negara. Namun, menurut mereka, langkah tersebut belum diambil oleh pemerintah maupun DPRD.
Massa demonstrasi sempat berupaya menemui 25 anggota DPRD Pohuwato. Namun, tak satu pun anggota dewan berada di kantor saat aksi berlangsung. Hal ini memicu kekecewaan di kalangan demonstran.
“Langkah ini menunjukkan kelalaian DPRD dalam menjalankan tugasnya. Ketua DPRD sering mengkritik perusahaan-perusahaan ini, tapi faktanya tindakan nyatanya tidak ada,” ucap Sonni.