SHARE

Komisioner Komnas Disabilitas Kikin Tarigan

CARAPANDANG -  Komisi Nasional Disabilitas menanggapi pengaduan pada kanal DiTA (Disabilitas Tanah Air) 143 dimana salah seorang peserta Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) atas nama Fauzan Akbar Sukandar Putra dengan nomor Peserta: 122-334- 05-0194 yang merupakan seorang Penyandang Disabilitas Netra (Low Vision) mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam mengikuti UTBK-SMPTN dari pihak LTMPT secara khusus dalam menyediakan fasilitas ujian bagi Penyandang Disabilitas.

Dalam pernyataannya, Fauzan Akbar mengatakan, berdasarkan apa yang dialaminya dari tahun 2020 dan tahun 2022 pada pelaksanaan UTBK yang dilaksanakan oleh LTMPT Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia belum menjawab kegelisahan dengan memberikan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas seperti yang dialami oleh Fauzan Akbar dengan kondisi Disabilitas Netra (Low Vision) yang membutuhkan alat bantu khusus berupa aplikasi pembesaran huruf pada layar komputer.

Menurutnya, terminologi ‘disabilitas Netra’ yang dipahami oleh LTMPT berdasarkan kasus ini, LTMPT memandang disabilitas Netra merupakan ketunanetraan dalam kategori buta total (totally blind) saja, hal ini terlihat dari perlakuan yang disamaratakan dalam pemberian layanan berupa perangkat lunak/software (aplikasi) pembaca layar (screen reader) Komputer.

“Selain itu, pemaksaan secara administrasi dilakukan dalam format surat pernyataan Tunaetra/buta sebagai bagian persyaratan pendaftaran UTBK-SBMPTN tahun 2022,” ujarnya.

Mengingat hal di atas, kata Fauzan, tentunya pemahaman tersebut sangat keliru, bahwa kategori penyandang disabilitas Netra/tunanetra merupakan rentang (spektrum) hambatan penglihatan mulai dari buta total (totally blind), persepsi cahaya (light perception) sampai dengan low vision (sedang, ringan dan berat), sehingga rentang kebutuhan harus disesuaikan dengan kebutuhan, tidak bisa disamaratakan dalam sebuah aplikasi software yang tunggal (screen reader saja).

“Dalam hal administrasipun kami “dipaksa” untuk menyatakan diri sebagai tunanetra/buta yang menggunakan alat bantu khusus screen reader di tantangani oleh Kepala Sekolah di atas materai, hal ini juga akan merugikan kami di kemudian hari karena bermuatan/berkonsekuensi hukum di kemudian hari, jika suatu saat ada kasus seperti saya, maka pihak LTMPT akan berkilah diatas surat ini,” tegasnya. 

Ia kembali menegaskan, LTMPT seharusnya memperhatikan kebutuhan penyadang disabilitas khususnya tunanetra, bahwa sebagian dari kami masih memiliki sisa penglihatan (low vison) yang fungsional untuk membaca dan menulis dengan adaptasi atau modifikasi alat bantu khusus. 

Dengan adanya kasus ini Fauzan berharap agar LTMPT dapat mengkaji perangkat lunak/software (Aplikasi) MAGNIFER sebagai alat bantu khusus yang dapat digunakan dalam UTBK, yang dapat menjadi opsi bagi penyadang disabilitas khususnya tunanetra, jika aplikasi screen reader saja dapat digunakan untuk membatu membaca pada layar komputer, kenapa aplikasi magnifer untuk menyesuaikan ukuran huruf sesuai dengan kebutuhan tunanetra tidak dapat digunakan saat UTBK. 

Selain hal itu peserta juga tidak diberikan sosialisasi perangkat lunak/software screen reader yang digunakan saat UTBK.

Seharusnya perangkat lunak/software screen reader yang digunakan UTBK disosialisasikan secara luas kepada Penyadang disabilitas Netra sebelum Hari pelaksanaan UTBK. Selama ini LTMPT belum pernah memberikan penjelasan mengenai perangkat lunak/software screen reader, walaupun diberikan itu pada Hari-H sebelum ujian, tentunya ini tidak efektif bagi kami.

Fauzan berharap dengan mengadukan hal ini kepada KNDI, LTMPT dapat merespon secara proaktif, responsif dan mampu melakukan penyesuaian kebutuhan alat bantu khusus sesuai dengan kondisi peserta  saat ujian berlangsung sehingga tidak merugikan peserta sehingga kejadian ini tidak terulang dikemudian hari.

“Dari hal-hal di atas, tentunya secara individu merasa dirugikan, terdikriminasi, tidak diberikan kesamaan kesempatan mendapatkan alat bantu khusus yang sesuai kebutuhan dan kondisi saya, tidak mendapatkan alat bantu khusus yang aksesibel, serta tidak terakomodasi secara layak dalam proses pelaksanaan UTBK, hal-hal ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang, peraturan pemerintah serta ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia berkenaan dengan Pendidikan, Hak Asasi Manusia dan Penyandang Disabilitas,” ungkapnya.

Menanggapi aduan dan laporan tersebut, Komisioner Komnas Disabilitas Kikin Tarigan, dalam pernyataan resminya saat diwawancarai menegaskan, pihaknya menyayangkan kejadian tersebut dan meminta agar adanya kesediaan akomodasi yang layak bagi para penyandang disabilitas. 

“Kami meminta kepada Kepala LTMPT untuk dapat membantu dan menyediakan fasilitas yang aksesibilitas bagi seluruh peserta Penyandang Disabilitas sesuai kebutuhan dan ragam distabilitasnya dalam mengikuti seleksi tersebut.” ujar Kikin.

Tags
SHARE