SHARE

Politik Dinasti

CARAPANDANG - Tiap 29 Juni diperingati sebagai Hari Keluarga Nasional. Namun, irisan pembahasan dalam artikel kali ini lebih menyorot sisi lain keluarga yakni politik dinasti serta dinasti politik.

Dalam tataran ideal, demokrasi bertaut dengan meritokrasi. Tanpa melihat latar keluarga, seseorang dapat menempati posisi strategis di eksekutif, legislatif, yudikatif. Namun, dalam ranah kenyataan, demokrasi lebih secara prosedural saja, namun demokrasi substansial masih jauh panggang dari api.

Jalur keluarga dapat menjadi jalan untuk menempati posisi-posisi strategis di pilar-pilar tersebut. Bukan berarti dinasti politik menjadi terlarang atau salah 100%. Akan tetapi jika politik dinasti menjadikan siapa-siapa yang berada di posisi-posisi tersebut ditempatkan berdasarkan jalur keluarga.

Dinasti politik bukan en sich di Indonesia saja, melainkan di berbagai negara di belahan dunia. Filipina dalam skala kontemporer disorot dengan semakin mencengkeramnya politik dinasti di negara tersebut. Sementara Amerika Serikat pun memiliki dinasti politik seperti keluarga Kennedy.

Indonesia? Dalam skala daerah, ada yang telah mengakar dan begitu kuat. Bagaimana dengan skala nasional? Konteks pemilu 2024 di antaranya beredar nama Puan Maharani, AHY, yang notabenenya merupakan anak dari tokoh politik.

Masih di Indonesia, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi polemik yang masih hangat. Independensi dan integritas MK pun dipertanyakan seiring Ketua MK dan Presiden RI Jokowi yang kini menjadi satu keluarga besar.

Reformasi 1998 menyoroti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Ada bau amis oligarki serta politik dinasti yang coba diluruskan di akhir abad 20 tersebut. Namun transisi menuju demokrasi tak selalu jalan lurus, ia pun dapat berbalik arah ke segala praktik lancung yang masif, meluas, dan “normal”.

Mengutip puisi Schiller, "Sebuah abad besar telah lahir, tetapi ia menemukan generasi yang kerdil.” Jangan-jangan hal itu yang terjadi dalam demokrasi di tengah society 5.0?