“Artinya akan banyak tempat yang mengalami kekeringan. [Hal ini bisa terjadi] baik di negara maju maupun berkembang. Baik Amerika, Afrika, dan negara lainnya sama saja [terdampak],” kata Dwikorita.
Di sisi lain, lanjut Dwikorita, terdapat daerah di dunia yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran. Kondisi ini merupakan bukti bagaimana perubahan iklim sedang terjadi di seluruh negara dunia dan akan semakin buruk hasilnya jika tidak dilakukan upaya mitigasi bersama.
Pada kesempatan tersebut Dwikorita mengungkapkan jika Indonesia saat ini belum terdeteksi mengalami hotspot air, namun bukan berarti dalam skala lokal kekeringan tidak terjadi. Jika lengah dan gagal memitigasi, kata Dwikorita, diproyeksikan pada 2045-2050 di saat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi perubahan iklim dan mengalami krisis pangan.
Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan beberapa waktu lalu telah memproyeksikan di tahun tersebut krisis pangan akan menimpa hampir seluruh negara di dunia. Tidak main-main, kurang lebih 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen sumber pangan dunia menjadi pihak yang paling rentan pada perubahan iklim.
“Cuaca ekstrem, iklim ekstrem, dan kejadian terkait air lainnya telah menyebabkan 11.778 kejadian bencana dalam kurun waktu 1970 hingga 2021,” tandasnya. dilansir setkab.go.id