Meski begitu, ia menegaskan, KKP tetap memasukkan potensi risiko tersebut ke dalam pertimbangan perencanaan ruang laut. Namun, variabel yang dipengaruhi oleh fenomena alam seperti ini sulit dikendalikan dan membutuhkan pendekatan adaptasi yang kompleks.
Foto: Ilustrasi Selat Sunda. (Dok. BMKG) |
Suharyanto pun menyoroti pengalaman dari tsunami Aceh pada tahun 2004 silam, yang mana pada prediksi kala itu akan terjadi tsunami lain di berbagai wilayah, tetapi akhirnya hanya terjadi di kawasan Simeulue. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya memprediksi dan mengantisipasi fenomena alam seperti Megathrust.
"Waktu itu kan juga pakar pada melakukan prediksi, nanti terjadi lagi di mana-mana, tapi ternyata hanya terjadi di Simeulue. Jadi, artinya kalau kita bicara variabel di dalam proses planning, itu variabel yang di luar kendali kita," jelasnya.
Ia menambahkan, upaya adaptasi terhadap risiko Megathrust bukanlah hal yang sederhana karena banyak faktor eksternal yang sulit dikendalikan. Namun, penataan ruang, khususnya di daratan, telah mulai dilakukan berdasarkan data para pakar tata ruang untuk mengurangi risiko bagi wilayah yang rentan.
Pemukiman darat itu sudah mulai diatur yang memang betul-betul dari data para pakar penyusunan tata ruang darat itu merupakan daerah yang merah," ucap dia.